Sabtu, 11 Desember 2010

PEMAHAMAN TENTANG PENGANGULANGAN KEMISKINAN "BY' RICKY IDAMAN SH.MH

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).
Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya…Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994). Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai kehidupannya (Rappaport, 1984).
Berdasarkan definisi-definisi pemberdayaan, dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Menurut Parsons et al (1994), Pemberdayaan sedikitnya mencakup tiga dimensi: (1) Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar, (2) Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya-diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain, dan (3) Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons et al., 1994).
Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan: (1) Pendekatan Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach), (2) Pendekatan Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya, dan (3) Pendekatan Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Parsons, et al., 1994).
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1988).
Konsep pemberdayaan lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar atau menyediakan mekanisme untuk mencegah pemiskinan lebih lanjut. Konsep ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan ekonomi di masa lampau. Pemberdayaan bertujuan dua arah, yaitu (a) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, dan b) memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Keduanya harus ditempuh menjadi sasaran dari upaya peberdayaan (Kartasasmita 1996;144-145).
Selain community empowerment, pendekatan pembangunan masyarakat (community development approach) juga merupakan pendekatan pembangunan yang memihak rakyat yang banyak dibicarakan. Menurut Korten (1984), dalam bukunya yang berjudul “people centered development”, secara berangsur perspektif kerakyatan dalam pembangunan semakin dapat legitimasi, terutama setelah publikasi studi yang dilakukan oleh World Bank dan the Sussex Institute of Development Studies yang menekankan pentingnya mengembangkan strategi pembangunan pedesaan dalam konsep “growth with equity”.
Anderson, dan J. A. Blubaugh (1973) menyunting enam pendekatan pembangunan masyarakat atau perubahan masyarakat yang direncanakan: (1) pendekatan masyarakat, (2) pendekatan swadaya informasi, (3) pendekatan pemecahan masalah bertujuan khusus, (4) pendekatan demontrasi, (5) pendekatan eksperimen, dan (6) pendekatan konflik kekuasaan. Sedangkan Christenson dan J. W. Robinson, Jr (1989) dalam bukunya menyunting tiga pendekatan, sekaligus menjadi tema utama pembangunan masyarakat, yaitu: (1) pendekatan swadaya, (2) pendekatan bantuan teknis, dan (3) pendekatan konflik.
Beberapa cara atau teknik yang lebih spesifik yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat adalah: (1) Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati; (b) menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-determination); (c) menghargai keberbedaan dan keunikan individu; (d) menekankan kerjasama klien (client partnerships), (2) Membangun komunikasi yang: (a) menghormati martabat dan harga diri klien; (b) mempertimbangkan keragaman individu; (c) berfokus pada klien; (d) menjaga kerahasiaan klien, (3) Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam semua aspek proses pemecahan masalah; (b) menghargai hak-hak klien; (c) merangkai tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar; (d) melibatkan klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi, (4) Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi; (b) keterlibatan dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan; (c) penterjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik; (d) penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan (Dubois dan Miley, 1992).
Secara sederhana ekonomi rakyat dapat dikatakan sebagai ekonomi dari kelompok masyarakat yang bercirikan “kemiskinan”, kekurangan modal, ketertinggalan teknologi, ketidaktersediaan informasi dan kapasitas organisasi sosial dan kelembagaan yang kurang memadai (Helmi, 2000 dan 2006, Jhingan, 1988).

Image and video hosting by TinyPic

Tidak ada komentar:

Posting Komentar