Minggu, 12 Desember 2010

SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA " BY" RICKY IDAMAN SH,MH

PEDEKATAN MASALAH DALAM PENTEPAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN KEPADA PANCA SILA DAN UUD 1945 DI INDONESIA
SUATU TITIK KONPLIK YANG TIDAK BERTEPI.

Salah satu unsur utama bagi berhasilnya penyelenggaraan pemerintahan negara adalah tersedianya berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat dilaksanakan dengan baik, dan dapat terciptanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat.
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis dalam suatu negara, selain merupakan suatu wahana dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan yang senantiasa berkembang, juga diperlukan untuk menjembatani antar lingkup laku aneka adat dan hukum tidak tertulis lainnya, atau mengatasi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis dalam hal pihak-pihak menghendakinya. Dalam pengertian lain dapat dinyatakan bahwa "hukum merupakan suatu alat yang tepat untuk mengubah pendapat hukum yang berlaku, dan dapat mengubah hubungan-hubungan sosial yang telah ada sebelumnya" (1.C. van der Vlies, 987, 9). Berdasarkan alasan tersebut, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik selain dilandasi oleh hal-hal yang bersifat yuridis, seharusnya dilandasi pula oleh kajian-kajian yang bersifat empiris, dan peran serta masyarakat yang terkait. Dengan dilaksanakannya unsur-unsur tersebut, maka pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya merupakan kehendak para pembentuk peraturan perundang-undangan, dan bersifat top down, tetapi juga berdasarkan aspirasi masyarakat.
Untuk mencapai terciptanya peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan, yang mengatur secara jelas bagaimana unsur-unsur tersebut dapat dipenuhi. Perlunya pembentukan undang-undang tersebut selain diamanatkan oleh Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, juga dirumuskan dalam Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan Kedua) yang menyatakan bahwa, ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-PROSES PEMBENTUKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Inisiatif untuk membentuk undang-undang yang mengatur hat-hal yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan telah sejak lama dilakukan. Prakarsa tersebut telah dimulai oleh Departemen Kehakirnan (sekarang Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) sekitar tahun 1985, dengan membentuk RUU; tentang Ketentuan-ketentuan pokok Peraturan Perundang-undangan, sebagai upaya untuk mengganti Algeemene Bepalingen van Wetgeving (S. 1847-23).
Oleh karena tertundanya pembentukan undang-undang tersebut, maka selama ini Pemerintah membentuk Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970, yang kemudian digantikan dengan Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, dan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden.
Setelah berlakunya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kedua Keputusan Presiden tersebut dirasakan perlu untuk segera disempurnakan, dan ditingkatkan pengaturannya dalam suatu undang-undang. Pembentukan Undang-undang tersebut telah dimulai di Dewan Perwakilan Rakyat sejak bulan Mei 2003, dengan melakukan pembahasan terhadap RUU tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berasal dari Dewan Perwakilan.Rakyat, dan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peraturan Perundang-undangan, yang berasal dari Pemerintah sebagai bahan pendamping.
Walaupun Undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dirasakan sangat penting kehadirannya, namun demikian pembahasan rancangan undang-undang tersebut kemudian dihentikan untuk menunggu putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang bersidang pada bulan Agustus 2003, dan perlunya sosialisasi kepada masyarakat.
Ketika lahirnya UU N.10 Tahun 2004 tentang Peraturan perundang-undangan, makan lahir pula masalah baru dimana pemahaman konsekwesi azas dasar hukum " de leg specialis de rogat de generalis " maknanya akan di terjemahkan aturan khusus akan lebih tinggi dari aturan umum, sementara dalam ketentuan UU No.10 Tahun 2004 tersebut peraturan perundang-undangan dindonesia tidak boleh melebihI aturan diatasnya, artinya sistematika nya berjenjang naik bertangga turun. Pada dasar bagus dengan ketenuan azas yang telah ditetapkan namun mengapa harus berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang telh di ditetapkan, hal ini kekeliruan dalam kajian pembuatan UU no.10Tahun 2004 tersebut.
Ini titik konplik yang memungkinkan menjadi masalah pokok secara nasional, seperti lahirnya gagasan baru di Pemerintahan DI Joyakarta yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham kerajaan memang ada benarnya pada awal kemerdekaan yakni pernyataan sultan hamengkuwono ke IX menyatakan mendukung kemerdekaan RI tgl.19 Agustus 1945 dengan menyatakan bahwa daerah DI Jogyakarta sebagai daerah yang menganut paham kerajaan terdapat pada poin 3 pernyataan tersebut.
Juga Daerah Istemewa Aceh dalam pernyataan sama dimana menganut multi aliran kenegaraan dan pondamentalis keagamaan Islam, maka UUD 1945 diakui dan Hukum islam wajib dijalankan, perjuangan mereka mewujutkan itu berhasil.
Tiik Masalah baru yang kan muncul yakni daerah yang merasa khusus lagi seperti Bali, dan Kalimantan dengan kerjaan Kutainya serta Provinsi Sumatra selatan dengan Kerajaan Sriwijaya nya, dimana pernah menguasai nusantara dan akan memungkinkan meminta kedudukan khusus dalam sistem hukum tata negara ini.
Untuk itu maka DPR-RI harus bekerja keras mengantisipasi hal ini dalam rangka menegakan supremasi hukum dan penyelenggaraaraa negara yang baik sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 dengan landasan idealisnya Panca Sila.(Ricky Idaman SH.MH) 13122010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar