Sabtu, 11 Desember 2010

KEMISKINAN DALAM PENGERTIAN UMUM ' BY" RICKY IDAMAN SH.MH

Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002).
Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004). Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).
Dimensi Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, yaitu Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). Dimensi Kemiskinan sosial yaitu Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas (David Cox, 2004).
Kemiskinan juga memiliki berbagai dimensi: (1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan), (2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi), (3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga), (4) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal, (5) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam, (6) Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat, (7) Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan, (8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental, serta (9) Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial yaitu anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil (Suharto, dkk, 2004).
Pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang menyadari bahwa ‘pertumbuhan’ tidak identik dengan ‘pembangunan’. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai, namun dibarengi oleh masalah pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang dan ketidak seimbangan struktural (Syahrir, 1986, bab 1). Hal ini memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan (Esmara 1986: h.12 dan Meier, 1989; h.7). Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas.
Todaro (1987;86-91) menyatakan bahwa definisi pembangunan haruslah dirumuskan kembali menjadi "suatu usaha untuk mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan mengurangi pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh". Meier (1989: h.6) menyatakan bahwa definisi pembangunan ekonomi terwujud melalui upaya meniadakan, setidaknya mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan. Myrdal (1968) mengartikan pembangunan sebagai upaya mengubah seluruh sistem sosial kearah yang lebih baik. Perubahan terutama nilai-nilai dan kelembagaan (dimensi kualitatif) menjadi jauh lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
Menurut Todaro (1987), salah satu sarat bagi terlaksananya pembangunan di daerah pedesaan yang berorientasi kepentingan rakyat banyak adalah melaksanakan land reform. Hal ini disebabkan karena keterkaitan petani kecil dengan lahannya sangat mendalam, bukan hanya sekedar fisik tetapi juga secara batiniah yang menyangkut harga diri dan kebebasan. Di banyak negara Dunia Ketiga, struktur kepemilikan lahan yang tidak merata merupakan penyebab utama atas terjadi dan berlarutnya ketimpangan dan distribusi pendapatan dan kesejahteraan di daerah pedesaan. Jika distribusi pendapatan terus menerus timpang, maka sedikit sekali harapan yang tersedia bagi para petani di pedesaan untuk dapat meningkatkan status atau tingkat kesejahteraan ekonominya. Program land reform biasanya meliputi redistribusi hak-hak kepemilikan lahan dan pembatasan penggunaan lahan yang terlalu luas oleh individu, serta membagikannya kepada para petani yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan yang sempit.
Secara sederhana ekonomi rakyat dapat dikatakan sebagai ekonomi dari kelompok masyarakat yang bercirikan “kemiskinan”, kekurangan modal, ketertinggalan teknologi, ketidaktersediaan informasi dan kapasitas organisasi sosial dan kelembagaan yang kurang memadai (Helmi, 2000 dan 2006, Jhingan, 1988).
Ide dasar konsep pembangunan berkelanjutan bermula dari “the Club of Rome” tahun1972. pesan penting dokumen tersebut diantaranya adalah bahwa sumberdaya alam telah berada pada tingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menunjang keberlanjutan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Pesan tersebut meluas setelah ada debat “the limit to growth” diawal 1970-an. Pada akhir 1970-an debat panjang berakhir dengan resolusi bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan (Friedman, 1992).
Dasa warsa 1970-an terdapat perdebatan sengit antara kelompok ‘growth’ dan kelompok ‘equity’ mulai sengit. Ternyata sudah bahwa pembangunan dengan strategi ‘pertumbuhan’ ekonomi saja atau GNP-0riented tidak memberikan pemecahan mengenai masalah kemiskinan di Negara Sedang Berkembang, trickle down effects tidak kunjung datang, justru memperlebar jurang perbedaan ‘kaya’ dan ‘miskin’. Akhirnya muncul konsep ‘garis kemiskinan’ (poverty line) yang menunjukan batas terendah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia (Tjokroamidjojo, 1980).
Kemiskinan disebabkan oleh kegagalan kelembagaan dan eksploitasi (pertukaran yang tidak adil dalam proses tukar menukar komoditas dan dan pembayaran yang tidak adil atas jasa-jasa mereka) terhadap penduduk miskin, golongan yang paling miskin terpenjara oleh struktur-struktur eksploitatif yang melanggengkan ketergantungan dan kelumpuhannya (Soedjatmoko, 1980, Sen, 1986, Schmid,1987, dan Arief,1990).
Menurut Sen, masalah kemiskinan di India bukan masalah kekurangan ketersediaan (supply) bahan makanan, tetapi masalah kegagalan kelembagaan, yaitu karena tidak berjalannya proses yang dia sebut entitlement, yaitu kemampuan seseorang dalam hal menjual atau memperdagangkan sumberdaya yang dimilikinya atau yang dapat diproduksinya untuk dapat memperoleh sejumlah barang yang diinginkan. Karena proses tersebut tidak berjalan, maka penduduk tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk dapat membeli semua kebutuhan hidup mereka (dikutip kembali dari Sjahrir, 1990). Demikian juga Schmid (1987) melihat bahwa kemiskinan suatu kegagalan kelembagaan.
Menurut Schmid, pendapatan (income) seseorang merupakan biaya (cost) bagi orang lain. Seseorang yang memiliki ketrampilan atau modal berarti dia mempunyai hak terhadap orang lain sehinnga menimbulkan biaya bagi orang lain tersebut. Orang miskin adalah orang tidak mempunyai atau memiliki sedikit sekali hak seingga tidak dapat menimbulkan biaya terhadap orang lain yang mengakibatkan pendapatan orang miskin relatif sedikit.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan, masalah kelembagaan seperti hak (property right) bagi penduduk miskin menjadi penting karena dengan hak tersebut mereka dapat memperoleh pendapatan (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Ukuran relatif ketidak pemerataan pendapatan biasanya digunakan indeks gini atau ukuran World Bank (Atkinson, 1975 dan 1987, Todaro, 1987).
Konsep garis kemiskinan yang menunjukan batas terendah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia pernah dikemukakan oleh Sajogyo, 1978, BPS 1993. Sajogyo menggunakan ekivalen beras 360 kg dan 480 kg/kapita/th untuk daerah pedesaan dan perkotaan. Sunsenas 1992 (BPS,1993) membedakan status ekonomi pedesaan dalam tiga kelompok, yaitu: 1) miskin dengan pengeluaran < 320 kg beras per kapita per tahun, 2) hampir cukup dengan pengeluaran 320 - 480 kg beras per kapita per tahun, 3) tidak miskin dengan pengeluaran > 480 kg beras per kapita per tahun.
Strategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK) yang diluncurkan 2005 menyatakan perlunya kontribusi semua pemangku kepentingan. Kerjasama antar pelaku pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan (a) masyarakat miskin/masyarakat luas/NGO/PT, (b) dunia usaha lokal, (c) Pemda/Dimas/DPRD. Esensi Mellinium Development Goals (MDG) adalah agenda mengurangi kemiskinan, yang salah satunya adalah mengurangi kemiskinan, untuk pengentasan kemiskinan absolut pada tahun 2015 (Suwandi 2004. Lembaga penelitian SMERU).
Prasyarat Pro-Poor Policy adalah: (1) paket kebijakan makro ekonomi yang berpihak ke si miskin, (2) penerapan sistem pemerintahan yang baik dalam bidang politik dan ekonomi, (3) iklim investasi yang kondusif (keamanan, kemudahan dan kepastian hukum), (4) pengelolaan aset negara dan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, (5) pembangunan sumberdaya manusia, (6) peningkatan perlindungan sosial (jaminan hidup, pendidikan dan kesehatan), (7) pembangunan perdesaan dan (8) penguatan kapital sosial (Stiglizt dalam Suwandi 2004).
Untuk itu, masyarakat miskin dan kelompok lemah lainnya memerlukan pemberdayaan. Mereka adalah kelompok yang pada umumnya kurang memiliki keberdayaan. Oleh karena itu, untuk melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya.

Free Image Hosting by FreeImageHosting.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar