Selasa, 14 Desember 2010

PENDEKATAN HUKUM JAMINAN " BY" RICKY IDAMAN SH.MH

Menurut KUHPerdata dalam Pasal 1131, jaminan adalah segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Jaminan ini sendiri berfungsi untuk memberikan keamanan bagi para kreditur.
Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan menguasainya dan lain-lain sebagai berikut:
1. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian.
Jaminan yang ditentukan oleh undang-undang adalah jaminan yang timbul karena undang-undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak terlebih dahulu. Misalnya, adanya ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa semua harta benda debitur baik bergerak maupun tetap, baik benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada menjadi jaminan bagi seluruh perutangannya.
Jaminan yang karena perjanjian sendiri timbul karena adanya perjanjian, lembaga ini sendiri meliputi hipotik, gadai, credietverband, fidusia, penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung menanggung, dan lain-lain.
2. Jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus.
Jaminan umum timbul dari Undang-Undang, tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang.
Jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat perorangan.
3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan yang bersifat perorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai hubungan langsung dengan debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikutinya (droit de suite), dan dapat diperalihkan (mis: hipotik, gadai, dan lain-lain).
Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya (contoh borgtocht).
4. Jaminan yang mempunyai obyek benda bergerak dan jaminan atas benda tak bergerak.
Jaminan atas benda bergerak ini sendiri dapat digunakan gadai atau fidusia dan jaminan atas benda tak bergerak dapat digunakan hipotik atau credietverband. Pembedaan ini nantinya akan mempengaruhi hal – hal tertentu yaitu, cara pembebanan/jaminan, cara penyerahan, dalam hal daluarsa, dan dalam hal bezit.
5. Jaminan yang menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya antara lain:
a. Plegde or pawn, pand.
Lembaga jaminan ini merupakan gadai yang digunakan untuk benda bergerak.
b. Lien, Retent,Recht, Droit de retention.
Lembaga jaminan ini berupa retensi yang merupakan hak untuk menguasai benda si berutang sampai hutang yang bertalian dengan benda tersebut harus dibayar lunas.
c. Mortgage with possession.
Lembaga jaminan ini semacam hipotik atas benda bergerak dengan menguasai bendanya.
d. Hire purcase, huurkoop.
Lembaga jaminan ini seperti beli sewa yang dikenal di Indonesia . Dalam perjanjian beli sewa ini, hak milik atas bendanya baru beralih jika harga barang telah dibayar lunas. Pada perjanjian beli sewa terdapat juga sifat memberi jaminan bagi kreditur.
e. Conditional Sale.
Conditional Sale ini merupakan perjanjian jual beli dengan syarat bahwa perpindahan hak atas bendanya baru terjadi setelah syarat terpenuhi.
f. Credit Sale, Koop op Afbetaling.
Lembaga jaminan ini merupakan jual beli dengan mencicil, dan hak kebendaannya beralih pada saat penyerahan meskipun harganya belum dibayar lunas.
Sedangkan lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya antara lain:
g. Mortgage, hypotheek, hipotheque.
Lembaga ini tertuju pada benda tidak bergerak. Selain itu, hipotik atas tanah (real estate mortgage) juga banyak dilakukan atas kapal laut dan kapal terbang tanpa menguasai bendanya. Umumnya semua negara telah mengatur secara intensif di dalam perundang-undangan mengenai hipotik atas kapal laut antara lain ditemukan dalam Pasal 309 WvK dan lain-lain di samping BW/KUHPerdata.
h. Chattle Mortgage.
Lembaga ini terjadi atas benda bergerak. Yang umumnya terjadi pada kapal laut dan kapal terbang tanpa menguasai bendanya. Chattle Mortgage hampir mirip dengan Conditional Sale, tetapi jauh lebih menguntungkan karena :
- Dapat dipakai sebagai jaminan bagi penjualan baik secara kredit maupun kontan.
- Dapat digunakan untuk melindungi keuntungan baik yang telah ad maupun yang masih akan ada.
- Dapat digunakan terhadap benda yang telah ada maupun yang masih akan ada.
i. Fiduciary Transfer of Ownership, Security Transfer of Title, Transfer of Ownership.
Lembaga ini merupakan perpindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan hutang.
j. Leasing.
Leasing merupakan perjanjian sewa barang modal usaha tertentu dengan mengangsur untuk suatu jangka waktu tertentu dan jumlah angsuran tertentu.
Selain penggolongan lembaga jaminan yang telah diuraikan di atas dalam tata hukum Indonesia juga dikenal hak-hak yang bersifat memberikan jaminan. Sehingga karena adanya adanya hak-hak tersebut kreditur akan merasa terjamin dalam pemenuhan piutangnya. Hak-hak jaminan tersebut ada yang timbul dari dari undang-undang dan ada yang harus diperjanjikan terlebih dulu. Hak-hak yang timbul dari undang-undang adalah privilege dan retensi. Sedangkan hak-hak jamunan yang timbul dari perjanjian adalah perjanjian garansi perutangan tanggung-menanggung dan cessi sebagai jamin.

Study kasus dan pendekatan masalah :

Lembaga Jaminan : Bangunan diatas Tanah Milik Orang lain
KAJIAN YURIDIS Pengikatan Jaminan Berupa Bangunan yang Dibangun Diatas Tanah Milik Pihak Lain Kasus Posisi BANK sedang melakukan restrukturisasi atas debiturnya dimana salah satu obyek yang menjadi jaminan kredit adalah bangunan milik debitur yang dibangun di atas tanah milik pihak lain dan belum dilakukan pengikatan jaminan. PermasalahanApakah lembaga jaminan yang dipergunakan untuk mengikat bangunan di atas tanah yang berbeda kepemilikannya ? Dasar Hukum Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
PembahasanPembebanan Hak Tanggungan menurut UUHT Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu Persyaratan yang yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai objek Hak Tanggungan (Bab II UU Hak Tanggungan) antara lain :
* Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin adalah berupa uang.
* Termasuk hak yang wajib didaftar dalam Daftar Umum karena harus memenuhi syarat spesialitas dan publisitas.
* Mempunyai sifat yang dapat dipindah tangankan karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijaminkan akan dijual di depan umum.
* Memerlukan penunjukkan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan syarat diatas mengenai objek Hak Tanggungan sebagaimana tersebut
dalam Pasal 4 jo Pasal 27 UU Hak Tanggungan dan Penjelasan Umum angka 5 bahwa yang merupakan objek Hak Tanggungan adalah :
Yang ditunjuk oleh UUPA sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf a, b, c sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT) yaitu Hak Milik (Pasal 25), Hak Guna Usaha (Pasal 33) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).
* Yang ditunjuk oleh UURS (Pasal 27 UUHT jo. Pasal 12 dan 13 UURS).
* Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 12 ayat (1) a UU Rumah Susun jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
* Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas tanak Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara (Pasal 13 huruf a UU Rumah Susun jo. Pasal 27 UUHT berikut penjelasannya).
* Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2) UUHT).
* Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didafta dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Dimungkinkan pula pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tanah tersebut yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dengan syarat pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh pemiliknya (pemilik tanah maupun pemilik bangunan/tanaman dsb) atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik (Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 5 UUHT).
Pembebanan Fidusia menurut UU Fidusia
Pengertian Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Fidusia menyatakan bahwa :
”Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”
Dari perumusan tersebut, dapat diketahui bahwa yang diserahkan dan dipindahkan dari pemiliknya kepada kreditor (pemegang fidusia) adalah hak kepemilikan suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Fidusia, objek jaminan Fidusia meliputi benda bergerak dan tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, dengan syarat bahwa kebendaaan tersebut ”dapat dimiliki dan dialihkan”, sehingga dengan demikian objek Jaminan Fidusia meliputi :
Benda bergerak yang berwujud
* Benda bergerak yang tidak berwujud;
* Benda bergerak yang terdaftar;
* Benda bergerak yang tidak terdaftar;
* Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
* Benda tidak bergerak tidak tertentu, yang tidak dibebani dengan Hipotik;
* Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan.
Dalam penjelasan Pasal 6 huruf c UU Fidusia disebutkan uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya sehingga debitur yang ingin menjaminkan bangunan harus memiliki bukti kepemilikan atas bangunan yang berdiri pada tanah yang disewa tersebut.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Fidusia menegaskan bahwa undang-undang ini tidak berlaku terhadap :
* Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar;
* Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh)M3 atau lebih;
* Hipotik atas pesawat terbang; dan
* Gadai
Berdasarkan penjelasan butir 5 diatas jelaslah bahwa bangunan yang dibangun diatas tanah sewa tersebut secara peraturan wajib didaftarkan untuk memenuhi asas publisitas sehingga dalam pengikatannya tidak dapat menggunakan lembaga Jaminan Fidusia, akan tetapi melalui lembaga Jaminan Hak Tanggungan.
Pendapat Para Ahli terkait Permasalahan di atas
Pendapat beberapa ahli hukum diantaranya diwakili oleh pendapat Rachmadi Usman, SH. MH. dalam bukunya berjudul ”Hukum Jaminan Keperdataan”, dalam menerjemahkan dan mengintepretasikan pengertian yang terkandung dalam Pasal3 huruf a UU Fidusia berikut penjelasannya adalah berbeda.
Pendapat tersebut pada intinya menyatakan bahwa terhadap bangunan yang terpisah kepemilikannya dengan tanah tempat berdirinya bangunan tersebut dapat dilakukan pengikatan secara Fidusia, berdasarkan bunyi Penjelasan Pasal 3 huruf a UU Fidusia sebagai berikut (dikutip) :
”Berdasarkan ketentuan ini, maka bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan berdasarkan UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.”
Sehingga menurut pendapat tersebut apabila pemilik tanah tidak ingin (baca : tidak mau) tanahnya diikat dengan Hak Tanggungan sehubungan dengan keinginan pemilik bangunan untuk membebani bangunannya dengan Hak Tanggungan, maka yang dapat ditempuh oleh pemilik bangunan adalah menjaminkan bangunan miliknya dengan Jaminan Fidusia.
Pendapat yang demikian ini menurut hemat kami sudah keluar dari prinsip-prinsip dasar yang diatur dalam UU Hak Tanggungan maupun UU Fidusia serta lebih mengartikan Penjelasan Pasal 3 huruf a UU Fidusia secara letterlijke dan justru mengabaikan bunyi Pasal 3 huruf a UU Fidusia itu sendiri.
Pengertian ”tidak dapat dibebani Hak Tanggungan” dalam bunyi pasal dimaksud bukanlah dalam pengertian si pemilik tanah tidak mau dibebani Hak Tanggungan, namun pengertiannya adalah belum adanya ketentuan hukum yang dapat dipergunakan untuk mengatur pengikatan terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah tersebut. Maksud pembentuk undang-undang adalah sebagai antisipasi dari perkembangan dan kemajuan zaman yang memungkinkan terciptanya bangunan-bangunan atau benda yang secara yuridis tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Bentuk bangunan atau benda yang ada saat ini dan tidak dapat dibebani Hak Tanggungan kiranya seperti rumah caravan, rumah knockdown, dsb.
Salah satu aspek yuridis lainnya yang perlu diperhatikan adalah mengenai ketentuan adanya kewajiban untuk mendaftarkan bangunan atau benda tersebut untuk memenuhi asas publisitas, yaitu kepastian hukum untuk mengetahui siapa pemilik dari bangunan atau benda-benda dimaksud. Apabila secara yuridis kewajiban untuk mendaftarkan dimaksud melekat pada bangunan atau benda tersebut, maka tidak ada jalan lain selain membebani bangunan atau benda tersebut dengan lembaga Jaminan Hak Tanggungan. Ketentuan inilah yang diabaikan oleh pendapat ahli hukum tersebut di atas.
Lalu bagaimana jika si pemilik tanah tempat berdirinya bangunan atau benda tersebut tidak mau dibebani Hak Tanggungan ? maka tiada lain kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya Hak Tanggungan. Hal ini sama berlaku apabila kreditur yang menyerahkan tanah miliknya sebagai jaminan, namun tidak mau dibebani Hak Tanggungan, maka de facto tidak terjadinya Hak Tanggungan.
Oleh sebab itu, maka jelaslah bunyi Pasal 3 huruf a UU Fidusia pada bagian akhir dari kalimatnya yang berbunyi ”……sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan.”

Kesimpulan dan SaranBangunan yang berdiri diatas tanah yang tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah (dimiliki oleh orang lain) dapat dijadikan agunan dengan dibebani Hak Tanggungan sepanjang pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan tersebut dilakukan dengan penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh pemiliknya (pemilik tanah maupun pemilik bangunan/tanaman dsb) atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya.
Ketentuan tersebut diatas menjadi acuan bagi tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan jika kepemilikannya berbeda dengan pemilik tanah, sehingga pembebanan Hak Tanggungan dilakukan oleh pemilik tanah bersama-sama dengan pemilik bangunan dan/atau tanaman dan/atau hasil karya dan/atau mesin-mesin tersebut, keduanya bertindak selaku Pemberi Hak Tanggungan.
Sehubungan dengan adanya syarat dalam pembebanan atas bangunan yang berada di atas tanah milik orang lain berdasarkan perjanjian sewa menyewa, maka yang perlu diperhatikan adalah perjanjian sewa menyewa antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan, dimana dalam perjanjian sewa menyewa tersebut terdapat klausula yang mengatur mengenai tanah yang disewa tersebut dapat diikat Hak Tanggungan dalam rangka untuk membebani bangunan yang berdiri diatasnya dengan Hak Tanggungan. Apabila klausula tersebut tidak ada dalam perjanjian sewa, maka dengan persetujuan para pihak dapat dilakukan addendum / amandemen (perubahan) atas perjanjian sewa untuk memasukkan klausula dimaksud.
Selain itu yang perlu mendapat perhatian juga adalah mengenai jangka waktu pemberian kredit, dimana jangka waktu pemberian kredit tidak boleh lebih lama dari pada jangka waktu sewa tersebut (Ricky)

1 komentar:

  1. Saya baca dalam tulisan bung Rycki disini ada mengenai Cnattle, bolehkan saya tau bahan bacaan apa yang dipakai. Kalau boleh saya minta info mengenai bacaan yang berkaitan dengan chattle. tks jika berkenan m,emberi info

    BalasHapus